Thursday 28 November 2019

Bedah Buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat


Buku non fiksi berjudul Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat dengan penulis Mark Manson terbit edisi bahasa Indonesia di bulan February 2018. Buku Terlaris versi New York Times dan Globe and Mail ini telah mengalami cetak ulang ke-32. Dengan tagline tambahan pada judul ‘Pendekatan Yang Waras Demi Menjalani Hidup Yang Baik’ membuat saya tertarik untuk membacanya suatu saat nanti. Keponakan saya yang masuk kategori generasi Z telah memiliki buku ini, dan saya sudah berpesan kepadanya untuk meminjamkan buku tersebut sebelum membelinya. Saya adalah pembaca sekaligus kolektor buku, dan 3 tahun terakhir ini sedang fokus membaca buku dengan thema Self Improvement.
Buku ‘Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat’ ditulis oleh seorang blogger terkenal dan memiliki berjuta-juta pembaca. Mark Manson tinggal di New York dan buku ini merupakan buku pertamanya.Pada cover belakang berwarna oranye dapat kita baca,”Dalam buku pengembangan diri yang mewakili generasi ini, seorang blogger superstar menunjukkan pada kita bahwa kunci untuk menjadi orang yang lebih kuat, lebih bahagia adalah dengan mengerjakan segala tantangan dengan lebih baik dan berhenti memaksa diri untuk mejadi “positif” di setiap saat.”



Membaca tulisan pada cover itu membuat saya semakin penasaran dong. Setelah membaca mengenai filosofi stoa, saya juga merasakan bahwa sikap saya telah “bodo amat” terhadap segala hal yang berada di luar kontrol diri saya. Sebagai orang yang memiliki agama, sikap “bodo amat” saya tentunya dibarengi dengan usaha berdoa karena saya yakin Tuhan yang bisa merubah segala hal di luar dari diri kita.
Hingga pada waktunya saya mendapatkan informasi diadakannya Bedah Buku karya Mark Manson ini di Gramedia Matraman – Jakarta Timur . Jarak yang relatif dekat dengan rumah membuat semakin semangat untuk hadir dalam acara ini.  Jumat, 22 November 2019 saya datang ke toko buku favorit di Matraman ini. Acara Bedah Buku berlangsung pukul 14.00 – 16.00 dengan narasumber Indra Gunawan Masman, MBA. Beliau adalah aktivis pendidikan Universitas Tarumanegara dan memiliki jabatan di Gramedia Grup.


Bedah buku dihadiri banyak audiense hingga memenuhi kursi yang tersedia. Banyak diantara mereka telah membaca buku ini. Layak diapresiasi lebih karena menurut suatu penelitian daya minat membaca orang Indonesia rendah, tetapi kenyataannya di Jakarta selalu penuh dengan pengunjung yang hadir setiap acara yang berkaitan dengan buku yang saya hadiri. Menurut narasumber, Indra Gunawan Masman memang saat ini buku lebih berkembang daripada surat kabar atau majalah karena buku dapat berkembang dari atau ke platform lainnya, seperti film, ebook, dll. Jika ingin menjadi seorang penulis buku yang eksis maka penulis harus merambah ke platform lain, seperti sosial media (instagram, facebook, blog). Kalau hanya mengandalkan keahlian konvensional tanpa merambah ke multiplatform digital maka akan tersaingi oleh penulis yang multiplatform. Nah Mark Manson yang awalnya seorang blogger adalah penulis yang memang sukses dengan branding tulisan-tulisannya di blog hingga akhirnya di cetak menjadi sebuah buku fisik/cetak.
Narasumber sempat memberi penilaian dan perbandingan pemikiran Mark Manson dengan filsafat stoic. Pemikiran “bodo amat” lebih naik daun dibandingkan pemikiran stoic menurut narasumber. Saya semakin penasaran karena pada saat ini saya sedang menjalankan filsafat stoa (tentunya dengan tetap memegang ajaran Nabi Muhammad SAW yang saya yakini). Menurut Pak Indra Gunawan Mark Manson adalah seorang yang fokus terhadap dirinya sendiri. Ini merupakan bahasa lain dari “bodo amat”. Sebenarnya penulis tidak cuek, namun justru fokus terhadap dirinya sendiri. Ia mengingatkan untuk selalu konsentrasi terhadap diri kita sendiri. Dengan pemikiran yang sebenarnya positif tetapi dibuat judul yang menimbulkan kontroversi.
Setelah acara Bedah Buku selesai, saya langsung membeli buku yang sebenarnya berjudul “The Subtle Art of Not Giving a F*CK” (Penerbit HarperOne di New York USA). Sesampainya di rumah saya juga langsung membacanya (padahal masih banyak buku lain yang sudah saya beli tapi belum sempat saya baca di kamar). Baru 2 bab saya membacanya, dan saya “tidak kuat” dengan kalimat-kalimat yang terkesan menyerang di pribadi saya. Hahaha....maklumlah 2 tahun belakangan ini saya memang sudah melakukan redesign atau reinstall pikiran agar selalu berpikir positif dan itu sudah membuat saya tenang.
Berarti benar seperti salah satu inti yang dikatakan oleh Pak Indra saat bedah buku itu, yakni,”Apa yang baik bagi kita, belum tentu baik bagi orang lain.”


Dan saya ingin menuliskan arti masa bodoh di buku ini dengan melihat 3 “seni” yang dapat menjernihkah perkara yang dibahas dalam buku, yaitu :
Seni #1 : Masa bodoh bukan berarti menjadi acuh tak acuh, masa bodoh berarti nyaman saat menjadi berbeda.
Seni #2 : Untuk bisa mengatakan “bodo amat” pada kesulitan, pertama-tama Anda harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan.
Seni #3 : Entah Anda sadari atau tidak, Anda selalu memilih suatu hal untuk diperhatikan.

No comments:

Post a Comment