Wednesday 26 September 2018

Jati Diri Bahari Indonesia Dalam Naskah Nusantara

Seminar International Pernaskahan Nusantara menjadi bagian dari terselenggaranya Festival Naskah Nusantara IV. Saya mendapatkan kesempatan mengikuti seminar international ini di hari Kamis (20 September 2018) , bertajuk : "Jati Diri Bahari Indonesia : Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan". Sebagai narasumber tercantum DR (HC) Susi Pudjiastuti, DR Mukhlis PaEni, M.Pd dan Prof.Dr. Susanto Zuhdi. Sayangnya Susi Pudjiastuti sebagai Mentri Perikanan dan Kelautan berhalangan menjadi narasumber. Dari pemaparan Dr Mukhlis PaEni, M.Pd (Sejarawan - Budayawan Senior  Indonesia , Mantan Ketua Sejarawan Indonesia dan Mantan Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia) terbuka wawasan dan pengetahuan saya mengenai sejarah dan budaya naskah kemaritiman di Indonesia sejak masa lampau.
Tidak saya duga bahwa kondisi kemaritiman bangsa kita saat ini sangat terpuruk dibandingkan di masa lampau. Memprihatinkan bukan? Lantas bagaimana caranya agar jati diri bahari Indonesia dapat jaya kembali di masa depan seperti halnya kejayaan bahari di masa lalu? Mari kita longok terlebih dahulu tentang naskah-naskah nusantara di masa lalu.



Dr Mukhlis PaEni, M.Pd membuka presentasinya dengan menunjukkan "Alfabed Nusantara". Contoh alfabed dari daerah Bugis, Makassar, Mandar, Batak, Jawa dan Rejak beliau tampilkan kepada kami , orang-orang produktif yang hidup di era milenial dan sangat jarang yang masih mengenal alfabed tersebut.

✨✨✨

SCORE TEMPORAL
Setelah itu dengan singkat beliau memberikan poin-poin atau score temporal naskah-naskah Nusantara. Yang diceritakan adalah sejarah naskah dari daerah Sulawesi Selatan - Barat sesuai dengan asal beliau, selain itu daerah ini merupakan bagian dari daerah nusantara yang beruntung memiliki tradisi tulis. Ternyata di Indonesia tidak banyak suku bangsa yang memiliki tulisan dan tradisi tulis, padahal tradisi tulis sangat penting sebagai sarana pengabdian buah pikiran, perasaan dan citra masa lampau dari suatu suku bangsa. Suku bangsa Bugis, Makassar dan Mandar adalah diantara suku bangsa yang memiliki naskah-naskah (Lontara). Sedangkan suku lainnya di Sulawesi, yakni orang-orang Toraja tidak memiliki tradisi tulis, namun mereka memiliki tradisi oral (lisan).
Naskah Nusantara (Sulawesi Selatan – Barat) menurut beberapa pendapat ahli dimulai jauh sebelum agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan, berarti sebelum tahun 1600an. Hal ini ditandai karena pada cerita kuno Bugis – Makassar sama sekali tidak menyinggung masalah Islami. Naskah tersebut menceritakan cerita di awal abad 14. Abad 17 Galigo (Kisah –kisah kuno Bugis) mulai menuliskan cerita mengenai Islam. Kemudian tradisi tulis sebagai media pembakuan pikiran dan memegang peranan yang sangat penting terus berlangsung hingga abad XX.

KEPEMILIKAN NASKAH KUNO
Dari abad 15 – 17 tradisi tulis dan karya –karya literasi ini adalah milik dari tradisi besar di zamannya, dan disimpan di Istana dan dimiliki oleh para bangsawan tinggi di pusat –pusat kerajaan. Berbagai pengetahuan dan wawasan sosial ditulis oleh kalangan bangsawan dan intelektual kerajaan yang seluruhnya pendukung tradisi besar.
Abad 17 – 18 terjadi keruntuhan tradisi besar, semacam degradasi pemilikan simbol-simbol dari tradisi besar. Kepemilikan naskah juga mengalami degradasi. Naskah yang awalnya milik kerajaan di pustaka kerajaan menjadi milik bangsawan tinggi/menengan dan tersimpan sebagai koleksi pustaka pribadi.
Abad 19 – 20 degradasi kepemilikan berlanjut menjadi tersimpan di pustaka identitas (identitas pribadi). Kali ini dimiliki oleh bangsawan menengah/rendah. Hingga abad 20 beraneka naskah kuno yang telah dimiliki bangsawan rendah/kolektor menjadikan naskah tersebut hanya sebagai benda pusaka yang dibisniskan/dimaharkan oleh siapapun yang mampu membayar.

Konten Naskah dan Naskah Tradisi Besar Kebaharian
Beraneka tema dan materi tulisan menjadi konten dari naskah-naskah kuno tersebut, seperti catatan harian raja-raja, silsilah, ramalan-ramalan, petunjuk bercocok tanam, tata niaga, mistik, undang-undang pelayaran, tuntunan keagamaan, undang-undang kenegaraan, perjanjian, berbagai kisah, tasawuf, pengobatan, ilmu persenjataan, metode dan taktik perang, sex, tabiat binatang, arsitektur dan lain-lain.
Dalam slide pemaparan Dr Mukhlis PaEni, M.Pd menampilkan naskah kuno TRADISI BESAR KEBAHARIAN yang terdapat UU Pelayaran diedit oleh Ammanagappa. Naskah bahari juga membahas tentang kode etik protokoler dan tata tertib perang bahari sebagaimana perang di daratan. Mereka yang berperang memiliki kode etik yang tidak boleh dilanggar. Menurut saya pribadi sudah seharusnya kita membaca kembali mengenai hal ini, kode etik berperang masa kejayaan kemaritiman Nusantara agar dapat menjadi pedoman kita dalam “berperang” di media sosial (khususnya). Sayangnya tradisi besar kejayaan jati diri bahari (kemaritiman) Indonesia yang tercantum di slide tersebut menurut Dr.Mukhlis PaEni telah punah sejak 400 tahun lalu. Di masa sekarang hanya TRADISI KECIL KEBAHARIAN yang masih tersisa, yang hanya memuat hal tentang keseharian hidup nelayan dan kemiskinan di wilayah pesisir bahari Indonesia.


Lantas bagaimana jika kita ingin kembali menjadi BANGSA BAHARI BESAR seperti masa lampau yang disegani oleh seluruh bangsa di dunia? Ingat loh, kita menjadi salah satu negara kepulauan terbesar di dunia...Caranya adalah : Kita sebagai warganegara Indonesia berkewajibab mengembalikan semua naskah pusaka bahari menjadi pustaka bahari. Sudah siapkah kita?!
Sayangnya waktu yang diberikan pada seminar international kali ini sangat terbatas, jika tidak maka saya akan menanyakan mengenai berbagai contoh naskah tradisi besar kebahariaan. Barangkali saja saya berkesempatan membaca dan mempelajari-nya di perpustakaan yang ada di Indonesia agar kejayaan bangsa ini (khususnya bahari) dapat terangkat kembali.

Perlu diketahui, bahwa Dr.Mukhlis PaEni adalah sosok yang dedikasinya terhadap kebudayaan nasional sangat luar biasa. Inisiatif yang patut diacungi jempol adalah menominasikan hasil-hasil ekspresi kebudayaan Indonesia ke UNESCO hingga berhasil La Galigo masuk sebagai Memory of The World di tahun 2011.

Berikut syair rindu Naskah Bahari dikutip oleh Dr. Mukhlis PaEni yang bercerita bahwa dalam naskah tersebut ketika suami pergi berlayar maka para istri menantinya di rumah sambil menenun dan menyenandungkan nyanyian kerinduan mereka kepada para suami.
Mua diang Bura diseddena lopommu Da’mupettule, salili U mutuu

Kalau ada buih mendekat ke perahumu Jangan kau bertanya karena itulah rinduku.

No comments:

Post a Comment