Seminar International Pernaskahan
Nusantara menjadi bagian dari terselenggaranya Festival Naskah Nusantara IV.
Saya mendapatkan kesempatan mengikuti seminar international ini di hari Kamis
(20 September 2018) , bertajuk : "Jati Diri Bahari Indonesia : Masa Lalu,
Masa Kini, dan Masa Depan". Sebagai narasumber tercantum DR (HC) Susi
Pudjiastuti, DR Mukhlis PaEni, M.Pd dan Prof.Dr. Susanto Zuhdi. Sayangnya Susi
Pudjiastuti sebagai Mentri Perikanan dan Kelautan berhalangan menjadi
narasumber. Dari pemaparan Dr Mukhlis PaEni, M.Pd (Sejarawan - Budayawan Senior Indonesia , Mantan Ketua Sejarawan Indonesia dan Mantan Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia) terbuka wawasan dan
pengetahuan saya mengenai sejarah dan budaya naskah kemaritiman di Indonesia
sejak masa lampau.
Tidak saya duga bahwa kondisi
kemaritiman bangsa kita saat ini sangat terpuruk dibandingkan di masa lampau.
Memprihatinkan bukan? Lantas bagaimana caranya agar jati diri bahari Indonesia
dapat jaya kembali di masa depan seperti halnya kejayaan bahari di masa lalu?
Mari kita longok terlebih dahulu tentang naskah-naskah nusantara di masa lalu.
Dr Mukhlis PaEni, M.Pd membuka
presentasinya dengan menunjukkan "Alfabed Nusantara". Contoh alfabed
dari daerah Bugis, Makassar, Mandar, Batak, Jawa dan Rejak beliau tampilkan
kepada kami , orang-orang produktif yang hidup di era milenial dan sangat
jarang yang masih mengenal alfabed tersebut.
✨✨✨
SCORE TEMPORAL
Setelah itu dengan singkat beliau
memberikan poin-poin atau score temporal naskah-naskah Nusantara. Yang
diceritakan adalah sejarah naskah dari daerah Sulawesi Selatan - Barat sesuai
dengan asal beliau, selain itu daerah ini merupakan bagian dari daerah
nusantara yang beruntung memiliki tradisi tulis. Ternyata di Indonesia tidak
banyak suku bangsa yang memiliki tulisan dan tradisi tulis, padahal tradisi
tulis sangat penting sebagai sarana pengabdian buah pikiran, perasaan dan citra
masa lampau dari suatu suku bangsa. Suku bangsa Bugis, Makassar dan Mandar
adalah diantara suku bangsa yang memiliki naskah-naskah (Lontara). Sedangkan
suku lainnya di Sulawesi, yakni orang-orang Toraja tidak memiliki tradisi
tulis, namun mereka memiliki tradisi oral (lisan).
Naskah Nusantara (Sulawesi
Selatan – Barat) menurut beberapa pendapat ahli dimulai jauh sebelum agama
Islam masuk ke Sulawesi Selatan, berarti sebelum tahun 1600an. Hal ini ditandai
karena pada cerita kuno Bugis – Makassar sama sekali tidak menyinggung masalah
Islami. Naskah tersebut menceritakan cerita di awal abad 14. Abad 17 Galigo
(Kisah –kisah kuno Bugis) mulai menuliskan cerita mengenai Islam. Kemudian
tradisi tulis sebagai media pembakuan pikiran dan memegang peranan yang sangat
penting terus berlangsung hingga abad XX.
KEPEMILIKAN NASKAH KUNO
Dari abad 15 – 17 tradisi tulis
dan karya –karya literasi ini adalah milik dari tradisi besar di zamannya, dan
disimpan di Istana dan dimiliki oleh para bangsawan tinggi di pusat –pusat
kerajaan. Berbagai pengetahuan dan wawasan sosial ditulis oleh kalangan
bangsawan dan intelektual kerajaan yang seluruhnya pendukung tradisi besar.
Abad 17 – 18 terjadi keruntuhan
tradisi besar, semacam degradasi pemilikan simbol-simbol dari tradisi besar.
Kepemilikan naskah juga mengalami degradasi. Naskah yang awalnya milik kerajaan
di pustaka kerajaan menjadi milik bangsawan tinggi/menengan dan tersimpan
sebagai koleksi pustaka pribadi.
Abad 19 – 20 degradasi
kepemilikan berlanjut menjadi tersimpan di pustaka identitas (identitas
pribadi). Kali ini dimiliki oleh bangsawan menengah/rendah. Hingga abad 20
beraneka naskah kuno yang telah dimiliki bangsawan rendah/kolektor menjadikan
naskah tersebut hanya sebagai benda pusaka yang dibisniskan/dimaharkan oleh
siapapun yang mampu membayar.
Konten Naskah dan Naskah Tradisi Besar Kebaharian
Beraneka tema dan materi tulisan
menjadi konten dari naskah-naskah kuno tersebut, seperti catatan harian
raja-raja, silsilah, ramalan-ramalan, petunjuk bercocok tanam, tata niaga,
mistik, undang-undang pelayaran, tuntunan keagamaan, undang-undang kenegaraan,
perjanjian, berbagai kisah, tasawuf, pengobatan, ilmu persenjataan, metode dan
taktik perang, sex, tabiat binatang, arsitektur dan lain-lain.
Dalam slide pemaparan Dr Mukhlis
PaEni, M.Pd menampilkan naskah kuno TRADISI BESAR KEBAHARIAN yang terdapat UU
Pelayaran diedit oleh Ammanagappa. Naskah bahari juga membahas tentang kode
etik protokoler dan tata tertib perang bahari sebagaimana perang di daratan.
Mereka yang berperang memiliki kode etik yang tidak boleh dilanggar. Menurut
saya pribadi sudah seharusnya kita membaca kembali mengenai hal ini, kode etik
berperang masa kejayaan kemaritiman Nusantara agar dapat menjadi pedoman kita
dalam “berperang” di media sosial (khususnya). Sayangnya tradisi besar kejayaan
jati diri bahari (kemaritiman) Indonesia yang tercantum di slide tersebut menurut
Dr.Mukhlis PaEni telah punah sejak 400 tahun lalu. Di masa sekarang hanya
TRADISI KECIL KEBAHARIAN yang masih tersisa, yang hanya memuat hal tentang
keseharian hidup nelayan dan kemiskinan di wilayah pesisir bahari Indonesia.
Lantas bagaimana jika kita ingin
kembali menjadi BANGSA BAHARI BESAR seperti masa lampau yang disegani oleh
seluruh bangsa di dunia? Ingat loh, kita menjadi salah satu negara kepulauan
terbesar di dunia...Caranya adalah : Kita sebagai warganegara Indonesia
berkewajibab mengembalikan semua naskah pusaka bahari menjadi pustaka bahari.
Sudah siapkah kita?!
Sayangnya waktu yang diberikan
pada seminar international kali ini sangat terbatas, jika tidak maka saya akan
menanyakan mengenai berbagai contoh naskah tradisi besar kebahariaan. Barangkali
saja saya berkesempatan membaca dan mempelajari-nya di perpustakaan yang ada di
Indonesia agar kejayaan bangsa ini (khususnya bahari) dapat terangkat kembali.
Perlu diketahui, bahwa Dr.Mukhlis PaEni adalah sosok yang dedikasinya terhadap kebudayaan nasional sangat luar biasa. Inisiatif yang patut diacungi jempol adalah menominasikan hasil-hasil ekspresi kebudayaan Indonesia ke UNESCO hingga berhasil La Galigo masuk sebagai Memory of The World di tahun 2011.
Perlu diketahui, bahwa Dr.Mukhlis PaEni adalah sosok yang dedikasinya terhadap kebudayaan nasional sangat luar biasa. Inisiatif yang patut diacungi jempol adalah menominasikan hasil-hasil ekspresi kebudayaan Indonesia ke UNESCO hingga berhasil La Galigo masuk sebagai Memory of The World di tahun 2011.
Berikut syair rindu Naskah Bahari
dikutip oleh Dr. Mukhlis PaEni yang bercerita bahwa dalam naskah tersebut
ketika suami pergi berlayar maka para istri menantinya di rumah sambil menenun
dan menyenandungkan nyanyian kerinduan mereka kepada para suami.
Mua diang Bura diseddena lopommu
Da’mupettule, salili U mutuu
Kalau ada buih mendekat ke
perahumu Jangan kau bertanya karena itulah rinduku.
No comments:
Post a Comment