Beberapa tahun saya tidak membaca
karya “Eyang Putri” Nh. Dini, Penulis/Pengarang senior wanita terkemuka di
Indonesia. “Terpaksa” saya mengimbuhi kata “Eyang Putri” pada beliau
dikarenakan usia-nya memang yang sudah memasuki masa sepuh, namun dalam buku
ini disebutkan cucu beliau hanya memanggilnya dengan nama “Dini”, demikian pula
dengan menantu-nya yang memanggil hanya dengan nama, tanpa embel-embel Grandma,
Memee atau Nenek (halaman 153 alinea pertama). Suatu hal yang lazim di beberapa
negara, sama hal-nya dengan saya ketika homestay di rumah sepasang kakek dan
nenek berusia 70-an di New Zealand, saya memanggil mereka dengan menyebut nama –
tanpa ada embel-embel lainnya. Demikian pula dengan Eyang Dini (maaf ya, Bu,
karena saya sedang di Indonesia maka saya menyebut dengan Eyang justru karena
rasa hormat saya terhadap karya-karya Ibu Dini J) yang memiliki menantu
warna negara Canada, imigran asal Italia.
Kembali Ke Semarang
Menurut saya pribadi, boleh
dikatakan buku “Pondok Baca Kembali ke Semarang” merupakan kisah Nh.Dini
memasuki masa pensiun, khususnya pensiun sebagai Ibu Rumah Tangga. Beliau
kembali ke kota kelahiran dimana kedua orang tuanya juga dimakamkan setelah
berkeliling dunia mendampingi sang suami yang bertugas sebagai diplomat.
Setelah bercerai beliau menetap di Semarang, ke Kampung Sekayu dan mendirikan
taman bacaan yang dinamakan “Pondok Baca Nh.Dini”. Terkesan beliau menempuh
hidup baru, hidup mandiri yang justru lebih bermanfaat bagi lingkungannya di
masa paska pernikahan.
Apakah kita akan mengira bahwa
beliau kesepian seperti yang dikatakan oleh seseorang? Orang itu
mengatakan,”Waaaah, Mbak Dini tentu kesepian hidup semacam ini!” . Kalimat yang
menggelikan bagi Nh.Dini (Juga bagi saya :D). Beliau menuliskan pada halaman 16
- 17 : Bagaimana mungkin aku kesepian?!
Memang betul aku hidup sendirian, tapi aku tidak pernah merasa kesepian. Yang
pertama ialah Tuhan Yang Maha Besar selalu beruntun kusebut berselingan dengan
percakapanku bersama tanaman-tanaman di halamanku. Yang kedua adalah kehadiran
Kapten-ku yang tidak pernah terlepas dari batinku. Keduanya merupakan “teman”
utama, disusul oleh waktu-waktu mengarang, dimana otak dan jantungku dalam
keadaan aktif sepenuh-penuhnya. Bagaimana mungkin kesepian menguasaiku Rasa
sepi itu bahkan tidak pernah berkesempatan mengusikku walau ‘hanya’ menyelinap
sekalipun! Beberapa teman dan saudara bergantian menelepon, atau datang, bahkan
selalu ada yang kemudian mengajakku keluar makan bersama atau menonton bioskop.
Benar banget!!! Membaca buku ini
saya justru merasakan keberkahan hidup Nh.Dini dimasa “sendiri”-nya. Beliau
membuka PB sehingga lingkungannya mencintai kegiatan membaca dan mengerjakan
latihan bahasa. Dunia kepenulisan tentunya tidak ditinggalkan oleh beliau,
bahkan terus beliau kerjakan. Selain itu beliau juga aktif di kegiatan social
tingkat internasional. Bahkan tidak segan mereka mengangkat anak asuh yang juga
dapat membantu mengurusi pondok baca-nya.
Beliau memang seorang Pengarang ,
namun banyak karya-nya yang terbaca bahwa tulisan tersebut adalah kisah nyata
hidupnya. Seperti yang tertulis di buku ini.
Nh.Dini , Pengarang Intelektual dari Semarang
Tulisan beliau terbaca
“realistis”, apa adanya, tanpa harus didramatisir atau dipaksakan puitis. Namun
tetap berbobot. Sebenarnya sangat perlu dibaca bagi kaum muda yang berminat
belajar menulis. Kita nggak dibuat mengerutkan kening berpikir keras dengan
membaca tulisannya. Hal yang awam akan beliau jabarkan hingga menambah wawasan
pembacanya.
Contohnya dalam buku ini, beliau
menjelaskan mengenai Rotary Club Semarang, organisasi sosial yang diikuti. Pada
bab 3 (halaman 67) dijelaskan RCS yang diberi nama Kunthi. Siapa dan mengapa
nama Kunthi yang diberikan kepada RCS? Pembaca akan mendapatkan penjelasnya di
bab ini.
Selain itu bab 11 (halaman 224)
juga dijelaskan tentang Plan International Kupang Barat – Nusa Tenggara Timur.
Pengalaman beliau membagikan ilmu
di dunia literasi sering dilakukan di berbagai universtitas ternama di seluruh
dunia. Memang beliau adalah Penulis wanita cerdas & berinteletual tinggi
walaupun pendidikannya di perguruan tinggi formal tidak tinggi. Beliau “hanya”
pernah bekerja di ketinggian bumi sebagai Pramugari. Dalam buku ini beliau
bercerita tentang titel akademisnya yang diragukan oleh peserta ceramahnya.
Halaman 211 : Pada suatu waktu, disaat
aku sedang menggelar sajian ceramah di Kongres Nasional Geriatri, aku mendengar
bisikan seorang hadirin yang bertanya kepada dosen disampingnya, apa gelar
perguruan tinggi yang kumiliki.
Hingga beliau terpaksa
menghentikan penyajian makalahnya kemudian berkata kepada sang dosen dan si
penanya. “Ya, Mbak,benar saya tidak
mempunyai gelar universitas apa-apa. Tapi kalau terpaksa saya harus memuaskan
Anda, saya juga mempunyai huruf yang bisa dianggap gelar, ialah Nh singkatan
dari Nurhayati, Anda tahu apa nama arti tersebut? ARTINYA ADALAH TUBUH YANG
DIBERI CAHAYA, ATAU HAYAT YANG DIKARUNIAI WAHYU OLEH Yang Maha Kuasa. Saya
tidak bersekolah bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar seperti Drs, Dra, Ir
atau SH. Tetapi buku hasil karangan saya yang diterbitkan sudah berjumlah lebih
dari sepuluh judul. Saya yakin, pasti melebihi jumlah tesis atau hasil
penelitian yang diterbitkan para sarjana di manapun di Indonesia....” (Halaman
211-212)
Bapaknya merupakan orang pertama
dalam keluarga yang mempercayai bakatnya sebagai Penulis. (Hal 131) Dimasa itu, kata ‘pujangga’ ialah penunjukan
profesi yang kukagumi itu terdengar amat menyanjung, sekaligus membebani
pundakku sebagai seorang anak praremaka. Benarkaj aku, yang hanya menulis
beberapa syair, surat-surat yang tidak dikirim dan tembang Kinanthi atau
Dandanggula bisa disebut sebagai ‘pengarang’? Karena bagiku di waktu itu,
pengarang adalah seseorang yang menghasilkan buku-buku bacaan hebat yang
tersimpan rapi di dalam lemari Bapak atau yang namanya tercantum di
majalah-majalah kegemaaran kedua orang tuaku.
Kelebihan buku ini :
·
Bagus sekali untuk calon penulis atau penulis
pemula
·
Sangat layak dibaca untuk para akademisi sebagai
pembuka wawassan tanpa harus mengerutkan kening
·
Covernya unik, terkesan buku anak dari judul dan
desainnya.
Kekurangan buku ini :
Halaaah,siapa loe,An?!
Berani-beraninya cari kekurangan buku karya Sang Penulis legenda favorit
kita... :D
Bersyukur sekitar tahun 2002-2003
di Taman Ismail Marzuki Jakarta saya pernah bertemu dan hadir dalam acara
kepenulisan berbobot yang dihadiri oleh hampir seluruh penulis wanita Indonesia
di segala generasi. Betapa bijak dan cerdasnya Eyang Dini menanggapi seorang
muda yang “mengkritik tulisan” secara tajam karena ketidak mengertiannya orang
muda tersebut J
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete