Saturday 13 September 2014

Resensi Novel : Pondok Baca Kembali Ke Semarang



Beberapa tahun saya tidak membaca karya “Eyang Putri” Nh. Dini, Penulis/Pengarang senior wanita terkemuka di Indonesia. “Terpaksa” saya mengimbuhi kata “Eyang Putri” pada beliau dikarenakan usia-nya memang yang sudah memasuki masa sepuh, namun dalam buku ini disebutkan cucu beliau hanya memanggilnya dengan nama “Dini”, demikian pula dengan menantu-nya yang memanggil hanya dengan nama, tanpa embel-embel Grandma, Memee atau Nenek (halaman 153 alinea pertama). Suatu hal yang lazim di beberapa negara, sama hal-nya dengan saya ketika homestay di rumah sepasang kakek dan nenek berusia 70-an di New Zealand, saya memanggil mereka dengan menyebut nama – tanpa ada embel-embel lainnya. Demikian pula dengan Eyang Dini (maaf ya, Bu, karena saya sedang di Indonesia maka saya menyebut dengan Eyang justru karena rasa hormat saya terhadap karya-karya Ibu Dini J) yang memiliki menantu warna negara Canada, imigran asal Italia.

Kembali Ke Semarang
Menurut saya pribadi, boleh dikatakan buku “Pondok Baca Kembali ke Semarang” merupakan kisah Nh.Dini memasuki masa pensiun, khususnya pensiun sebagai Ibu Rumah Tangga. Beliau kembali ke kota kelahiran dimana kedua orang tuanya juga dimakamkan setelah berkeliling dunia mendampingi sang suami yang bertugas sebagai diplomat. Setelah bercerai beliau menetap di Semarang, ke Kampung Sekayu dan mendirikan taman bacaan yang dinamakan “Pondok Baca Nh.Dini”. Terkesan beliau menempuh hidup baru, hidup mandiri yang justru lebih bermanfaat bagi lingkungannya di masa paska pernikahan.
Apakah kita akan mengira bahwa beliau kesepian seperti yang dikatakan oleh seseorang? Orang itu mengatakan,”Waaaah, Mbak Dini tentu kesepian hidup semacam ini!” . Kalimat yang menggelikan bagi Nh.Dini (Juga bagi saya :D). Beliau menuliskan pada halaman 16 - 17 : Bagaimana mungkin aku kesepian?! Memang betul aku hidup sendirian, tapi aku tidak pernah merasa kesepian. Yang pertama ialah Tuhan Yang Maha Besar selalu beruntun kusebut berselingan dengan percakapanku bersama tanaman-tanaman di halamanku. Yang kedua adalah kehadiran Kapten-ku yang tidak pernah terlepas dari batinku. Keduanya merupakan “teman” utama, disusul oleh waktu-waktu mengarang, dimana otak dan jantungku dalam keadaan aktif sepenuh-penuhnya. Bagaimana mungkin kesepian menguasaiku Rasa sepi itu bahkan tidak pernah berkesempatan mengusikku walau ‘hanya’ menyelinap sekalipun! Beberapa teman dan saudara bergantian menelepon, atau datang, bahkan selalu ada yang kemudian mengajakku keluar makan bersama atau menonton bioskop.
Benar banget!!! Membaca buku ini saya justru merasakan keberkahan hidup Nh.Dini dimasa “sendiri”-nya. Beliau membuka PB sehingga lingkungannya mencintai kegiatan membaca dan mengerjakan latihan bahasa. Dunia kepenulisan tentunya tidak ditinggalkan oleh beliau, bahkan terus beliau kerjakan. Selain itu beliau juga aktif di kegiatan social tingkat internasional. Bahkan tidak segan mereka mengangkat anak asuh yang juga dapat membantu mengurusi pondok baca-nya.
Beliau memang seorang Pengarang , namun banyak karya-nya yang terbaca bahwa tulisan tersebut adalah kisah nyata hidupnya. Seperti yang tertulis di buku ini.

Nh.Dini , Pengarang Intelektual dari Semarang
Tulisan beliau terbaca “realistis”, apa adanya, tanpa harus didramatisir atau dipaksakan puitis. Namun tetap berbobot. Sebenarnya sangat perlu dibaca bagi kaum muda yang berminat belajar menulis. Kita nggak dibuat mengerutkan kening berpikir keras dengan membaca tulisannya. Hal yang awam akan beliau jabarkan hingga menambah wawasan pembacanya.
Contohnya dalam buku ini, beliau menjelaskan mengenai Rotary Club Semarang, organisasi sosial yang diikuti. Pada bab 3 (halaman 67) dijelaskan RCS yang diberi nama Kunthi. Siapa dan mengapa nama Kunthi yang diberikan kepada RCS? Pembaca akan mendapatkan penjelasnya di bab ini.
Selain itu bab 11 (halaman 224) juga dijelaskan tentang Plan International Kupang Barat – Nusa Tenggara Timur.
Pengalaman beliau membagikan ilmu di dunia literasi sering dilakukan di berbagai universtitas ternama di seluruh dunia. Memang beliau adalah Penulis wanita cerdas & berinteletual tinggi walaupun pendidikannya di perguruan tinggi formal tidak tinggi. Beliau “hanya” pernah bekerja di ketinggian bumi sebagai Pramugari. Dalam buku ini beliau bercerita tentang titel akademisnya yang diragukan oleh peserta ceramahnya. Halaman 211 : Pada suatu waktu, disaat aku sedang menggelar sajian ceramah di Kongres Nasional Geriatri, aku mendengar bisikan seorang hadirin yang bertanya kepada dosen disampingnya, apa gelar perguruan tinggi yang kumiliki.
Hingga beliau terpaksa menghentikan penyajian makalahnya kemudian berkata kepada sang dosen dan si penanya. “Ya, Mbak,benar saya tidak mempunyai gelar universitas apa-apa. Tapi kalau terpaksa saya harus memuaskan Anda, saya juga mempunyai huruf yang bisa dianggap gelar, ialah Nh singkatan dari Nurhayati, Anda tahu apa nama arti tersebut? ARTINYA ADALAH TUBUH YANG DIBERI CAHAYA, ATAU HAYAT YANG DIKARUNIAI WAHYU OLEH Yang Maha Kuasa. Saya tidak bersekolah bertahun-tahun untuk mendapatkan gelar seperti Drs, Dra, Ir atau SH. Tetapi buku hasil karangan saya yang diterbitkan sudah berjumlah lebih dari sepuluh judul. Saya yakin, pasti melebihi jumlah tesis atau hasil penelitian yang diterbitkan para sarjana di manapun di Indonesia....” (Halaman 211-212)

Bapaknya merupakan orang pertama dalam keluarga yang mempercayai bakatnya sebagai Penulis. (Hal 131) Dimasa itu, kata ‘pujangga’ ialah penunjukan profesi yang kukagumi itu terdengar amat menyanjung, sekaligus membebani pundakku sebagai seorang anak praremaka. Benarkaj aku, yang hanya menulis beberapa syair, surat-surat yang tidak dikirim dan tembang Kinanthi atau Dandanggula bisa disebut sebagai ‘pengarang’? Karena bagiku di waktu itu, pengarang adalah seseorang yang menghasilkan buku-buku bacaan hebat yang tersimpan rapi di dalam lemari Bapak atau yang namanya tercantum di majalah-majalah kegemaaran kedua orang tuaku.

Kelebihan buku ini :
·         Bagus sekali untuk calon penulis atau penulis pemula
·         Sangat layak dibaca untuk para akademisi sebagai pembuka wawassan tanpa harus mengerutkan kening
·         Covernya unik, terkesan buku anak dari judul dan desainnya.
Kekurangan buku ini :
Halaaah,siapa loe,An?! Berani-beraninya cari kekurangan buku karya Sang Penulis legenda favorit kita... :D
Bersyukur sekitar tahun 2002-2003 di Taman Ismail Marzuki Jakarta saya pernah bertemu dan hadir dalam acara kepenulisan berbobot yang dihadiri oleh hampir seluruh penulis wanita Indonesia di segala generasi. Betapa bijak dan cerdasnya Eyang Dini menanggapi seorang muda yang “mengkritik tulisan” secara tajam karena ketidak mengertiannya orang muda tersebut J

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete