Friday 3 May 2019

Ambu, Kasih Sayang Ibu Berlatar Sosial Budaya Baduy

Malam sebelum menyaksikan film Ambu Semesta Pertama Dan Terakhirku saya sudah menduga bahwa saya akan menitikkan air mata dalam press screning di XXI Plaza Senayan (Rabu, 01/05/2019). Maklumlah, baru 15 bulan Ibu kandung tercinta saya meninggalkan dunia fana ini. Serta baru bulan lalu keponakan perempuan (Yang usianya tidak terpaut jauh dengan saya) menyusul Ibu dan meninggalkan seorang anak perempuan.


Pesan moral film Ambu sangatlah kuat. Demikian pula karakter para tokoh-tokoh yang ada di film ini. Pada sosok Ambu Misnah yang diperankan oleh Widyawati kita tidak menemukan karakter monoton yang biasanya tergambar dalam film yang menggambarkan sosok ibu pada umumnya. Sosok dalam film Ambu adalah seorang Ibu yang jutek, tidak merangkul atau menunjukkan kasih sayang pada anak cucunya secara nyata serta berani tegas bersikap terhadap anaknya. Sedangkan tokoh Fatma (Diperankan oleh Laudya Cyntia Bela) adalah sosok anak yang berani menentang orang tuanya demi seorang lelaki yang akhirnya menjadi suami (Diperankan oleh Baim Wong)  dengan konsekwensi  "dibuang" oleh Ibu kandung dan keluarga besar suku-nya. Hingga akhirnya Fatma menjadi Ibu dan memiliki anak remaja bernama Nona (Diperankan oleh Luthesa). Fatma setelah menjadi Ibu justru digambarkan sebagai Ibu yang lemah lembut terhadap Ambu dan anaknya yang bersikap tidak ramah terhadapnya.
Tokoh Hapsa (Diperankan oleh Endhita) sangat menghibur penonton karena karakternya sebagai Nenek dengan 5 cucu sangat ceria lengkap dengan kalung emas dan gincu merah di bibirnya. Walaupun saya sempat bertanya-tanya tentang logika pemakaian lipstik nan cetar pada perempuan suku Baduy.
Oh ya, latar belakang film ini memang mengambil suku budaya masyarakat Baduy di Lebak Banten. Produsernya Ibu Bupati Lebak yang juga istri dari sang sutradara, Farid Dermawan. Film Ambu merupakan kiprah perdana dari sang sutradara dalam film komersial dan ini merupakan film komersial pertama berlatar suku Baduy. Jadilah film Ambu sebuah film drama yang berthema umum namun tetap berkarakter. Tanpa drama yang berlebihan dan ide sederhana film Ambu dapat memperkaya khasanah perfilman di Indonesia - bahkan dapat memberi warna bagi film di tingkat international.
Hanya ada 1 hal yang "mengganggu" perasaan dan saya ini adalah hal yang berlebihan, yakni sikap Nona terhadap Nenek dan Ibunya. Buat saya ini merupakan sikap yang sangat kurang ajar untuk seseorang yang terpelajar dan memiliki tingkat ekonomi yang baik. Sebagai orang yang lahir dan besar di metropolitan (bahkan beberapa tahun belajar di negeri Barat) saya tidak pernah mengenal teman/saudara/kerabat yang bersikap kasar dan berbicara "elo gue" ke orang yang lanjut usia - apalagi ke orang tuanya sendiri. Menunjukkan sikap protes atau marah bukan berarti harus kurang ajar ke lansia bukan? Memang kemungkinan sikap Nona ingin digambarkan oleh Sutradara betapa sikap Fatma sama seperti sikap Nona terhadap orang tuanya, tetapi setidaknya lebih diperhaluslah...hehehe, apalagi Nona awalnya hanya dianggap sebagai tamu di rumah Ambu.
Namun pesan sikap dan perkataan Jaya (Diperankan oleh Andri Mashadi) dalam film ini merupakan sosok ideal seorang pemuda bersikap kepada orang yang usianya lebih tinggi darinya. Perkataan bijak Jaya juga tidak terkesan menggurui.


Menyaksikan film Ambu saya semakin bersyukur dan sadar bahwa memang kasih sayang Ibu selayaknya semesta walaupun sosok Ibu tidak harus terlihat lemah lembut, tidak membelai manja dan tidak "romantis" terhadap anaknya. Sama seperti Ambu, Almarhumah Ibu saya kadang bersikap jutek terhadap anak-anaknya tetapi perhatiannya terhadap anak-anak, keponakan, cucu dan orang-orang disekitarnya tidak pernah bisa disembunyikan. Seperti halnya Ambu yang tanpa sepengetahuan Fatma, berdua dengan Hapsa berjalan jauh menemui paramedis di puskesmas untuk menanyakan penyakit yang diidap oleh Fatma, Almarhumah Ibu dan banyak Ibu lain juga melakukan perhatian "dari belakang" ke anak-anaknya.
Saya sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton. Sungguh, film Ambu tidak saja memperkaya rasa cinta kita kepada Ibu (masih ada atau tiada beliau di dunia) juga memperkaya wawasan kita terhadap kekayaan budaya negeri tercinta Indonesia. Padahal film ini selain sebagai karya perdana film komersial dari sang sutradara, juga merupakan produksi perdana dari Skytree Pictures. Berhasil membakar semangat saya untuk berkunjung ke kampung Baduy setelah berulangkali saya berkunjung ke Rangkasbitung dan daerah-daerah di sekitarnya. 
Semoga saja film Ambu dapat membuat para kepala daerah kabupaten atau kotamadya untuk memproduksi film komersial dengan latar budaya sosial daerah yang mereka pimpin dan kelola. Memberi wawasan dan pengetahuan baru mengenai budaya daerah Indonesia yang kaya raya sekaligus memberi pesan moral yang mendalam. Bukan sekedar film dokumenter yang kini kurang disimak oleh generasi  Z perkotaan, seumuran Nona dalam film Ambu.
Semua lapisan umur dimanapun berada, mari kita saksikan film Ambu sebagai “study banding”. Bisa ajak Ibu dan keluarga lainnya. Bisa berombongan seperti saya yang nonton bareng dengan 20-an Bloggercrony Squad. Atau sendirian juga oke-oke aja, supaya bisa lebih meresapi kasih sayang Ibu kita. Segera tayang di bioskop umum pada tanggal 16 Mei 2019. Tontonan asyik sambil ngabuburit bagi 3 generasi! Ambu Widyawati juga turut menyanyikan soundtrack film ini loh, lagu dan musik garapan Andi Rianto yang ciamik dentingan piano-nya. Serta mereka juga lintas generasi!



No comments:

Post a Comment