Malam sebelum menyaksikan film
Ambu Semesta Pertama Dan Terakhirku saya sudah menduga bahwa saya akan
menitikkan air mata dalam press screning di XXI Plaza Senayan (Rabu,
01/05/2019). Maklumlah, baru 15 bulan Ibu kandung tercinta saya meninggalkan
dunia fana ini. Serta baru bulan lalu keponakan perempuan (Yang usianya tidak
terpaut jauh dengan saya) menyusul Ibu dan meninggalkan seorang anak perempuan.
Pesan moral film Ambu sangatlah
kuat. Demikian pula karakter para tokoh-tokoh yang ada di film ini. Pada sosok
Ambu Misnah yang diperankan oleh Widyawati kita tidak menemukan karakter
monoton yang biasanya tergambar dalam film yang menggambarkan sosok ibu pada
umumnya. Sosok dalam film Ambu adalah seorang Ibu yang jutek, tidak merangkul
atau menunjukkan kasih sayang pada anak cucunya secara nyata serta berani tegas
bersikap terhadap anaknya. Sedangkan tokoh Fatma (Diperankan oleh Laudya Cyntia
Bela) adalah sosok anak yang berani menentang orang tuanya demi seorang lelaki
yang akhirnya menjadi suami (Diperankan oleh Baim Wong) dengan konsekwensi "dibuang" oleh Ibu kandung dan
keluarga besar suku-nya. Hingga akhirnya Fatma menjadi Ibu dan memiliki anak
remaja bernama Nona (Diperankan oleh Luthesa). Fatma setelah menjadi Ibu justru
digambarkan sebagai Ibu yang lemah lembut terhadap Ambu dan anaknya yang
bersikap tidak ramah terhadapnya.
Oh ya, latar belakang film ini
memang mengambil suku budaya masyarakat Baduy di Lebak Banten. Produsernya Ibu
Bupati Lebak yang juga istri dari sang sutradara, Farid Dermawan. Film Ambu
merupakan kiprah perdana dari sang sutradara dalam film komersial dan ini
merupakan film komersial pertama berlatar suku Baduy. Jadilah film Ambu sebuah
film drama yang berthema umum namun tetap berkarakter. Tanpa drama yang
berlebihan dan ide sederhana film Ambu dapat memperkaya khasanah perfilman di
Indonesia - bahkan dapat memberi warna bagi film di tingkat international.
Hanya ada 1 hal yang
"mengganggu" perasaan dan saya ini adalah hal yang berlebihan, yakni
sikap Nona terhadap Nenek dan Ibunya. Buat saya ini merupakan sikap yang sangat
kurang ajar untuk seseorang yang terpelajar dan memiliki tingkat ekonomi yang
baik. Sebagai orang yang lahir dan besar di metropolitan (bahkan beberapa tahun
belajar di negeri Barat) saya tidak pernah mengenal teman/saudara/kerabat yang
bersikap kasar dan berbicara "elo gue" ke orang yang lanjut usia -
apalagi ke orang tuanya sendiri. Menunjukkan sikap protes atau marah bukan
berarti harus kurang ajar ke lansia bukan? Memang kemungkinan sikap Nona ingin
digambarkan oleh Sutradara betapa sikap Fatma sama seperti sikap Nona terhadap
orang tuanya, tetapi setidaknya lebih diperhaluslah...hehehe, apalagi Nona
awalnya hanya dianggap sebagai tamu di rumah Ambu.
Namun pesan sikap dan perkataan
Jaya (Diperankan oleh Andri Mashadi) dalam film ini merupakan sosok ideal
seorang pemuda bersikap kepada orang yang usianya lebih tinggi darinya.
Perkataan bijak Jaya juga tidak terkesan menggurui.
Menyaksikan film Ambu saya
semakin bersyukur dan sadar bahwa memang kasih sayang Ibu selayaknya semesta
walaupun sosok Ibu tidak harus terlihat lemah lembut, tidak membelai manja dan
tidak "romantis" terhadap anaknya. Sama seperti Ambu, Almarhumah Ibu
saya kadang bersikap jutek terhadap anak-anaknya tetapi perhatiannya terhadap
anak-anak, keponakan, cucu dan orang-orang disekitarnya tidak pernah bisa
disembunyikan. Seperti halnya Ambu yang tanpa sepengetahuan Fatma, berdua
dengan Hapsa berjalan jauh menemui paramedis di puskesmas untuk menanyakan
penyakit yang diidap oleh Fatma, Almarhumah Ibu dan banyak Ibu lain juga
melakukan perhatian "dari belakang" ke anak-anaknya.
Saya sangat merekomendasikan film
ini untuk ditonton. Sungguh, film Ambu tidak saja memperkaya rasa cinta kita
kepada Ibu (masih ada atau tiada beliau di dunia) juga memperkaya wawasan kita
terhadap kekayaan budaya negeri tercinta Indonesia. Padahal film ini selain
sebagai karya perdana film komersial dari sang sutradara, juga merupakan
produksi perdana dari Skytree Pictures. Berhasil membakar semangat saya untuk
berkunjung ke kampung Baduy setelah berulangkali saya berkunjung ke Rangkasbitung
dan daerah-daerah di sekitarnya.
Semoga saja film Ambu dapat
membuat para kepala daerah kabupaten atau kotamadya untuk memproduksi film
komersial dengan latar budaya sosial daerah yang mereka pimpin dan kelola. Memberi
wawasan dan pengetahuan baru mengenai budaya daerah Indonesia yang kaya raya
sekaligus memberi pesan moral yang mendalam. Bukan sekedar film dokumenter yang
kini kurang disimak oleh generasi Z
perkotaan, seumuran Nona dalam film Ambu.
Semua lapisan umur dimanapun
berada, mari kita saksikan film Ambu sebagai “study banding”. Bisa ajak Ibu dan keluarga lainnya. Bisa berombongan seperti saya yang nonton bareng dengan 20-an Bloggercrony Squad. Atau sendirian juga oke-oke aja, supaya bisa lebih meresapi kasih sayang Ibu kita. Segera tayang di
bioskop umum pada tanggal 16 Mei 2019. Tontonan asyik sambil ngabuburit bagi 3
generasi! Ambu Widyawati juga turut menyanyikan soundtrack film ini loh, lagu
dan musik garapan Andi Rianto yang ciamik dentingan piano-nya. Serta mereka
juga lintas generasi!
No comments:
Post a Comment