Friday, 31 October 2014

Resensi Novel : Rindu by Tere Liye : Pada Sebuah Kapal

Setiap perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan.
Di zaman itu, naik haji adalah perjalanan berbulan-bulan. Penuh perjuangan, penuh air mata keharuan, pun air mata keinsyafan. Mengorbankan waktu, harta, bahkan dalam banyak kasus, juga nyawa. Jamaah yang menyadari benar apa pertanyaannya, atau hanya tersirat dalam doa-doa. (Halaman 222)


Judul Buku : Rindu
Penulis : Tere Liye
Editor : Andriyati
Penerbit : Penerbit Republika
Halaman : ii + 544 halaman
Cetakan Pertama : Oktober 2014

TENTANG PERJALANAN KITA, ANNA
“Berlatar” sebuah perjalanan suci, mengarungi samudera, melintasi benua hingga tiba pada tujuan yang sesungguhnya adalah klimaks perjalanan umat Nabi Muhammad hidup di dunia. Perjalanan terindah ke rumah MahaPemilik dunia, sungguh tiada yang dapat menandingi kebahagiaan serta keberkahan perjalanan yang merupakan aplikasi rukun Islam ke-5. Bersyukur saya telah menempuh perjalanan itu lebih dari 9 tahun yang lalu, menjadi jamaah haji termuda di rombongan kami. Nama panggilan saya : ANNA. Ya, sama dengan tokoh termuda di novel ini yang juga menjadi jamaah termuda di kapal BLITAR HOLLAND. Tetapi sarana transportasi kami berdua ke tanah suci berbeda, saya dengan pesawat terbang dari Soekarno-Hatta Cengkareng bersama rombongan yang baru beberapa hari kenalan dan kami dalam perjalanan hanya duduk, shalat, membaca dan makan di seat pesawat terbang. Sedangkan Anna dalam novel ini melakukan perjalanan ke tanah suci dengan kapal laut dari pelabuhan Makassar Sulawesi bersama ayahnya (DAENG ANDIPATI), Ibu kandungnya, Kakak Kandungnya (ELSA) dan Bik Ijah. Dalam perjalanan suci ini Anna memiliki aktifitas yang banyak di atas kapal, seperti mengaji, sekolah, makan di kantin, silaturahim dengan penghuni kabin lainnya. Mereka memerlukan waktu berbulan-bulan untuk tiba di Jeddah Saudi Arabia. Sedangkan saya hanya memerlukan waktu tidak sampai 1 hari 1 malam dalam perjalanan. Ah, nikmat mana yang dapat kamu dustakan, Anna?

Namun, sungguh, novel ini bukanlah cerita tentang apa dan bagaimana melaksanakan ibadah haji. Justru cerita adalah dari masa lalu ke tokoh-tokoh yang di dalamnya. 

KARAKTER TOKOH
  • Ahmad Karaeng : Seorang Ulama ternama di kala itu. Penduduk Makassar hingga Pare Pare memanggilnya Gurutta. Masih kokoh dan kuat di usia-nya yang 75 tahun, bahkan pihak penjajah masih gentar kepadanya. Beliau masih terbilang keturunan Raja Gowa pertama yang memeluk Islam, Sultan Alauddin. Pernah belajar Di Aceh, Yaman dan Dasmaskus. Menetap di Eropa dua tahun lamanya. Usia 45 tahun barulah kembali ke Makassar menjadi imam Masjid Katangka.
  • Daeng Andipati : Pria Bugis yang sukses sebagai saudagar, muda, kaya raya, pintar dan baik hati. Bersekolah di Rotterdam School of Commerce. Ayah dari Anna dan Elsa
  • Ambo Uleng : Pemuda asal Pare Pare pendiam, yang melamar pekerjaan di Blitar Holland dengan alasan pergi sejauh-jauhnya. Pria Bugis yang benar-benar berjiwa Pelaut Sejati.
  • Bundo Upe & Suami : Wanita China berusia 40 tahun yang menjadi guru mengaji dalam perjalanan. Belajar mengaji/agama saat usia 35 tahun. Suaminya begitu sabar memperhatikannya.
  • Mbah Kakung & Mbah Putri : Pasangan sejati yang keromantisannya selalu membuat iri penumpang lainnya. Berusia 80 tahun, Mbah Kakung merupakan "musuh" Anna selama di perjalanan dikarenakan pendengaran Mbah Kakung terkikis oleh usia-nya.
  • Anna dan Elsa : Kakak beradik yang mendominasi adegan dalam novel. Mereka berperan mencairkan suasana yang ada di tengah permasalah dan kisah kelam tokoh lainnya, walaupun mereka tidak menyadari akan hal itu. Tetapi kebayang “garing” deh andai kedua tokoh ini ditiadakan. Berasa baca kisah nyata kepediah ala majalah wanita dewasa barangkali :D
  • Tokoh pelengkap lainnya : Kapten Phillips, Sersan Lukas, Chef Lars, Ruben si Boatswain, Guru Soerjadiningrat dan Mangkoesoebroto.
           
PADA SEBUAH KAPAL
Bermula di suatu pagi di penghujung tahun 1938. Tepatnya tanggal 1 Desember 1938, berteatan dengan 9 Syawal 1357 H sebuah kapal uap besar dengan cat hitam pekat merapat di Pelabuhan Makassar. Kapal uap yang memiliki panjang 136 meter, dengan lebar 16 meter.Itulah salah satu kapal uap kargo terbesar di zaman itu, berkeliling dunia, dibuat di Eropa tahun 1923. Dimiliki oleh salah satu perusahaan logistik dan transportasi besar asal Belanda, Koninklijke Rotterdam.
(Saat membaca bagian mengenai kapal ini visualisasi saya terlempar tanggal 18 Maret 2014, saat itu saya berada di perairan Makassar – dari Pelabuhan Makassar menuju Pulau Lae Lae dan Samalona berpapasan dengan kapal besar seperti tertulis di novel ini. Di perahu saya bersama beberapa pria Bugis. Ternyata pengalaman ini membantu saya lebih meresapi cerita).

Pada perjalanan haji tahun 1938 M BLITAR HOLLAND melakukan perjalanan berawal dari :

  • Ternate (Naiklah penumpang calon jemaah haji, diantaranya dari Kesultanan Ternate)
  • Makassar (Diantara penumpang adalah : Daeng Andipati dan keluarga, Ahmad Karaeng Katangka – dikenal dengan Gurutta, Ambo Uleng, Bonda Upe dan suami )
  • Surabaya (Sepertinya 2 guru : Soerjadiningrat dan Mangoenkoesoemo naik dari pelabuhan kota Pahlawan)
  • Semarang (Diantara penumpang adalah : Sepasang lansia romantis yang dipanggil Eyang Kakung dan Eyang Putri oleh penumpang lainnya bersama anak sulung mereka yang berusia 50 tahun)
  •  Batavia
  • Lampung (Ssssttt keluarga Bakrie ada yang naik kapal ini loh.Apakah ini kerabat Bapak Aburizal Bakrie yang Ketua Golkar itu-kah?)
  • Bengkulu
  • Padang – Sumatera Barat
  • Aceh – Serambi Mekkah
  • Colombo – Srilanka (Ini diluar Hindia Belanda)
  • Jeddah (Tujuan akhir dari penumpang calon Jemaah haji, kemudian kapal melanjutkan perjalanannya ke Rotterdam hingga beberapa bulan kemudian - tahun 1939 kapal Blitar Holland kembali menjemput para jamaah yang sudah menundaikan ibadah haji, kembali ke tanah air)

Awalnya saya menduga konflik cerita novel bermula dari kisah Anna yang terlepas dari ayahnya ketika kapal berlabuh di Surabaya. Mereka berbelanja baju di Pasar Turi dan mengalami masalah karena kobaran semangat kepahlawanan arek Suroboyo. Ternyata ini hanya sekedar "intro" dalam kisah sesungguhnya.
Sesungguhnya 5 kisah dalam perjalanan panjang menuju Tanah Suci terdapat pada “Rindu”, yakni :
1.      Kisah tentang masa lalu yang memilukan
2.      Kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi
3.      Kehilangan kekasih hati
4.      Cinta sejati
5.      Kemunafikan

  • Jika saya menceritakan semua kisah di novel Rindu maka akan suliit menghindari dari "spoiler". Oleh karena-nya saya hanya mengurai isi novel, serta pelajaran-pelajaran yang terdapat di dalamnya. Dari semua kisah bersumber dari bathin masa lalu para tokoh yang mengalaminya, yang menjadi mediator dalam penyelesaian masalah adalah : Gurutta yang sebenarnya juga terjebak dalam "kemunafikan".
  • Pada seperempat buku saya sebagai pembaca mengalami kebosanan dikarenakan penulis nampak seolah mengulur-ulur waktu dalam penulisan. Rutinitas kegiatan Anna dan Elsa terlalu mendominasi cerita hampir di setengah novel. Tetapi saya tidak ingin langsung menutup buku dan menunda membacanya. Saya justru penasaran, bertanya dalam hati, sebenarnya apa sih yang diceritakan oleh Penulis. So lanjutlah saya membaca novel bersampul putih ini. 
  • Di Batavia , di sebuah warung soto baru-lah kisah sesungguhnya muncul. Terkuak-lah masalalu Bundo Upe yang memilukan. Bundo Upe yang masih merasakan kepedihan bertahun-tahun, disaat kini banyak murid-murid-nya mengagumi kecantikan dan kepandaiannya mengaji. Kisah pilu-nya terjadi di Batavia.

"Kita tidak bisa melakukan itu,Upe. Tidak bisa. Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi.Berdiri gagah.Mulailah dengan damai menerima masa lalumu.Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Dengan kau menerimanya, perlahan dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebi bahagia." (halaman 312)


  • Banyak hal yang dapat menjadikan pelajaran bagi kehidupan pembaca dari novel Rindu. Diantaranya ya dari dialog/nasehat Gurutta kepada mereka yang memiliki kisah-kisah tersebut. Ini-lah salah satu kelebihan novel selain pada awal cerita kita tidak dapat menebak cerita berikutnya sehingga "memaksa" kita untuk terus melanjutkan membacanya.
  • Banyak unsur rasa terdapat dalam novel Rindu,seperti : kesedihan, kegembiraan, sakit, kematian, kelahiran, pemakaman,heroik,horor, misteri hampir semua terwakili. Hampir semua-nya  bersetting di 1 lokasi, yakni : Blitar Holland. Yang diluar Blitar Holland adalah kejadian awal terkuaknya misteri masa lalu Bundo Upe dan kejadian heroik Ambo Uleng terhadap Anna di Pasar Turi Surabaya .
  • Tanpa testimonial, tanpa gambar/lukisan dan tanpa mini resensi pada cover membuat kita calon pembaca tidak memperoleh clue jalan cerita novel. Good job!! Saya justru "sedih" saat membaca resensi dari pembaca  di internet yang dapat membuat calon pembaca seperti saya urung melanjutkan novel dikarenakan resensi mereka mengupas tuntas cerita. 
  • Walaupun tidak banyak penulis mencantumkan beberapa kalimat berbahasa Belanda. Namun beberapa kata dalam bahasa Belanda ada yang tidak umum saya temukan selama saya belajar bahasa Belanda saat di Leiden dan Delft, diantaranya : "Makassarsche Courant" (hal.4). Sepengetahuan saya kata "koran" dalam bahasa Belanda adalah "de krant". Eh, saya coba googling ternyata ada koran masa lalu yang bernama "Makassarche Courant" ya? :)
  • Novel ini menambah wawasan dan pengetahuan sejarah, misalnya : sejarah trem di Surabaya (hal.123), cara pemakaman di lautan (hal.432)
  • Tidak banyak editan yang salah dalam novel ini, hanya sekedar di hal.402 kata "adalah" ditulis dua kali, hal 518 kata "Iia" seharusnya Dia. Yang sedikit "fatal" kesalahan tahun di hal.322 tertulis 12 Desember 2013.
  • Pada "Epilog" tertulis "...menjemput penumpang perjalanan pulang menuju Banda Aceh hingga Makassar." Lantas jamaah haji yang dari Ternate bagaimana tuh? Nggak dipulangin Disuruh berenang dari Makassar ya? hehehe,,,

No comments:

Post a Comment