Buku non fiksi berjudul Sebuah
Seni Untuk Bersikap Bodo Amat dengan penulis Mark Manson terbit edisi bahasa
Indonesia di bulan February 2018. Buku Terlaris versi New York Times dan Globe
and Mail ini telah mengalami cetak ulang ke-32. Dengan tagline tambahan pada
judul ‘Pendekatan Yang Waras Demi Menjalani Hidup Yang Baik’ membuat saya
tertarik untuk membacanya suatu saat nanti. Keponakan saya yang masuk kategori
generasi Z telah memiliki buku ini, dan saya sudah berpesan kepadanya untuk
meminjamkan buku tersebut sebelum membelinya. Saya adalah pembaca sekaligus
kolektor buku, dan 3 tahun terakhir ini sedang fokus membaca buku dengan thema
Self Improvement.
Buku ‘Sebuah Seni Untuk Bersikap
Bodo Amat’ ditulis oleh seorang blogger terkenal dan memiliki berjuta-juta
pembaca. Mark Manson tinggal di New York dan buku ini merupakan buku
pertamanya.Pada cover belakang berwarna oranye dapat kita baca,”Dalam buku
pengembangan diri yang mewakili generasi ini, seorang blogger superstar
menunjukkan pada kita bahwa kunci untuk menjadi orang yang lebih kuat, lebih
bahagia adalah dengan mengerjakan segala tantangan dengan lebih baik dan
berhenti memaksa diri untuk mejadi “positif” di setiap saat.”
Membaca tulisan pada cover itu
membuat saya semakin penasaran dong. Setelah membaca mengenai filosofi stoa,
saya juga merasakan bahwa sikap saya telah “bodo amat” terhadap segala hal yang
berada di luar kontrol diri saya. Sebagai orang yang memiliki agama, sikap
“bodo amat” saya tentunya dibarengi dengan usaha berdoa karena saya yakin Tuhan
yang bisa merubah segala hal di luar dari diri kita.
Hingga pada waktunya saya
mendapatkan informasi diadakannya Bedah Buku karya Mark Manson ini di Gramedia
Matraman – Jakarta Timur . Jarak yang relatif dekat dengan rumah membuat semakin
semangat untuk hadir dalam acara ini. Jumat, 22 November 2019 saya datang ke toko
buku favorit di Matraman ini. Acara Bedah Buku berlangsung pukul 14.00 – 16.00
dengan narasumber Indra Gunawan Masman, MBA. Beliau adalah aktivis pendidikan
Universitas Tarumanegara dan memiliki jabatan di Gramedia Grup.
Bedah buku dihadiri banyak
audiense hingga memenuhi kursi yang tersedia. Banyak diantara mereka telah
membaca buku ini. Layak diapresiasi lebih karena menurut suatu penelitian daya
minat membaca orang Indonesia rendah, tetapi kenyataannya di Jakarta selalu
penuh dengan pengunjung yang hadir setiap acara yang berkaitan dengan buku yang
saya hadiri. Menurut narasumber, Indra Gunawan Masman memang saat ini buku
lebih berkembang daripada surat kabar atau majalah karena buku dapat berkembang
dari atau ke platform lainnya, seperti film, ebook, dll. Jika ingin menjadi
seorang penulis buku yang eksis maka penulis harus merambah ke platform lain,
seperti sosial media (instagram, facebook, blog). Kalau hanya mengandalkan keahlian
konvensional tanpa merambah ke multiplatform digital maka akan tersaingi oleh
penulis yang multiplatform. Nah Mark Manson yang awalnya seorang blogger adalah
penulis yang memang sukses dengan branding tulisan-tulisannya di blog hingga
akhirnya di cetak menjadi sebuah buku fisik/cetak.
Narasumber sempat memberi
penilaian dan perbandingan pemikiran Mark Manson dengan filsafat stoic.
Pemikiran “bodo amat” lebih naik daun dibandingkan pemikiran stoic menurut
narasumber. Saya semakin penasaran karena pada saat ini saya sedang menjalankan
filsafat stoa (tentunya dengan tetap memegang ajaran Nabi Muhammad SAW yang
saya yakini). Menurut Pak Indra Gunawan Mark Manson adalah seorang yang fokus
terhadap dirinya sendiri. Ini merupakan bahasa lain dari “bodo amat”.
Sebenarnya penulis tidak cuek, namun justru fokus terhadap dirinya sendiri. Ia
mengingatkan untuk selalu konsentrasi terhadap diri kita sendiri. Dengan
pemikiran yang sebenarnya positif tetapi dibuat judul yang menimbulkan
kontroversi.
Setelah acara Bedah Buku selesai,
saya langsung membeli buku yang sebenarnya berjudul “The Subtle Art of Not
Giving a F*CK” (Penerbit HarperOne di New York USA). Sesampainya di rumah saya
juga langsung membacanya (padahal masih banyak buku lain yang sudah saya beli
tapi belum sempat saya baca di kamar). Baru 2 bab saya membacanya, dan saya
“tidak kuat” dengan kalimat-kalimat yang terkesan menyerang di pribadi saya.
Hahaha....maklumlah 2 tahun belakangan ini saya memang sudah melakukan redesign
atau reinstall pikiran agar selalu berpikir positif dan itu sudah membuat saya
tenang.
Berarti benar seperti salah satu
inti yang dikatakan oleh Pak Indra saat bedah buku itu, yakni,”Apa yang baik
bagi kita, belum tentu baik bagi orang lain.”
Dan saya ingin menuliskan arti
masa bodoh di buku ini dengan melihat 3 “seni” yang dapat menjernihkah perkara
yang dibahas dalam buku, yaitu :
Seni #1 : Masa bodoh bukan
berarti menjadi acuh tak acuh, masa bodoh berarti nyaman saat menjadi berbeda.
Seni #2 : Untuk bisa mengatakan
“bodo amat” pada kesulitan, pertama-tama Anda harus peduli terhadap sesuatu
yang jauh lebih penting dari kesulitan.
Seni #3 : Entah Anda sadari atau
tidak, Anda selalu memilih suatu hal untuk diperhatikan.
No comments:
Post a Comment